Siapa diantara kita yang mengenal Kepulauan Cocos atau Cocos (Keeling) Islands? Mungkin nama kepulauan ini masih terdengar asing terutama untuk kita orang Indonesia. Padahal kalau kita mengenal lebih dalam tentang daerah ini, kita akan seperti menemukan saudara sebangsa yang dulu hilang terlupakan ditengah luasnya samudera hindia.
Lokasi Kepulauan Cocos
Kepulauan Cocos yang dikenal juga Pulau Keeling adalah sebuah wilayah luar negeri Australia, berada di tengah samudera Hindia, sekitar 3000 km dari Perth yang sebenarnya secara geografis lebih dekat ke Indonesia. Jaraknya sekitar 1000 km dari Jakarta, seperti jarak Jakarta-Medan lah kira-kira.
Kenapa saya tertarik membahas kepulauan ini? Sebetulnya awalnya ga sengaja lagi buka Google Maps iseng nyari pulau terpencil ditengah samudera, ada ga sih yang hidup ditengah samudera gini? Geser peta ke bawah pulau jawa, ketemu Chrismas Island, geser lagi ke kiri eh nemu kepulauan ini. Coba googling dan... saya langsung kagum sama kepulauan ini. Ternyata penduduk aslinya adalah keturunan Melayu! Ya melayu... tapi melayu disini beda dengan melayu Malaysia, lebih ke melayu Palembang atau Riau, coba search di Youtube udah lumayan banyak video tentang masyarakat pulau ini. Perhatikan dialek nya, mirip melayu yang ada di Indonesia kan?
Capt. William Keeling
Kenapa disebut juga Keeling Island? Kepulauan Cocos pertama kali dilihat oleh Kapten William Keeling ketika dia sedang melayani Perusahaan Hindia Timur Britania. Saat itu, kepulauan tersebut tidak berpenghuni dan Keeling maupun pelayar lainnya tidak berusaha untuk menempatinya hingga abad ke-19, namun Kapten Keeling dihormati sebagai penemu pertama dengan penganugerahan nama keluarganya sebagai bagian dari nama kepulauan tersebut.
Nah Uniknya orang melayu Indonesia tetap menjadi mayoritas di kepulauan ini. Keadaan itu berlangsung hingga delapan generasi, hingga Inggris mengambil alih kepulauan ini. Karena Australia merupakan negara persemakmuran Inggris, lalu diserahkanlah kepengurusan pulau ini ke Aussie karena secara geografis dia yang lebih dekat.
Penduduk melayu di pulau Cocos waktu itu sempat diberi pilihan untuk kemerdekaan. Yakni berasosiasi secara bebas dengan Australia, atau integrasi secara penuh dengan negara kanguru itu. Akhirnya penduduk di pulau Cocos memilih opsi yang terakhir. Mungkin tuhan tahu yang terbaik untuk penduduk pulau ini, apa jadinya jika saat itu Indonesia mengambil alih? Ya kita bisa lihat masyarakat kita di perbatasan, selama berpuluh tahun mereka kurang diperhatikan, baru beberapa tahun belakangan saja kondisi mereka membaik.
Anak-anak di Pulau Cocos
Meski penduduk di pulau Cocos sudah jauh & lama terpisah dari Indonesia, hal tersebut tak membuat mereka meninggalkan budaya dan bahasa sebagai identitas yang telah diwariskan oleh pendahulunya. Kebudayaan leluhur tetap dipertahankan, seperti kesenian, ritual adat, dan sebagainya.
Kosakata bahasa yang mereka gunakan adalah kombinasi dari bahasa Indonesia dan melayu Malaysia. Hanya saja mereka memiliki dialek kombinasi antara Inggris dan Scotland. Situasi dan kondisi setempat yang mengubah dialek mayoritas muslim di pulau Cocos Australia agak berbeda. Dan karena lama bergaul dengan orang Inggris-Australia, bahkan guru mereka pun orang bule, bahasa Inggris pun sudah seperti bahasa nasional buat mereka.
Acara adat pernikahan di Pulau Cocos
Penduduk pulau Cocos mayoritas beragama Islam Sunni (ahlu sunnah wal jamaah). Nuansa keislaman di pulau ini sangat kental. Dibuktikan dengan banyaknya masjid yang mereka bangun di sekolah-sekolah yang mereka bangun. Bukan hanya syariat islam yang ditegakkan seperti penggunaan jilbab, tapi perayaan keagamaan seperti hari raya Idul Fitri, Ramadhan, juga tak kalah meriah dari Indonesia.
Ada sekitar 500-an warga melayu dan 120-an warga Australia dan ekspatriat yang tinggal disini. Rata-rata warga Australia dan Ekspatriat disini bekerja sebagai guru, polisi, ataupun bekerja di industri pariwisata yang ada di pulau ini.
Sekolah di Cocos Island
Kantor Polisi
Warga yang tinggal di pulau ini merasakan kebahagiaan
seutuhnya dengan melihat bagaimana anak-anak pergi ke sekolah hanya menggunakan
sepatu, atau tidak perlu mengunci mobil, atau mengunci rumah saat pergi. Ah, saya jadi membayangkan betapa tenangnya hidup di pulau ini, udara segar, tanpa memikirkan hiruk-pikuk kehidupan kota besar, gejolak politik, dll.
Masjid
Pulu Cocos Museum
Bioskop Terbuka alias Layar Tancep
Belakangan perkembangan ekonomi dan pariwisata disini mulai berkembang pesat. Supemarket mulai ada, sarana pendukung pariwisata seperti resort, pelabuhan kapal pesiar, sarana water sport, kapal ferry antar pulau, dll. Pulau Kokos pun telah memiliki jaringan internet dan telepon genggam tersendiri yang masih satu jaringan dengan CiiA (Christmas Island Internet Association). Tapi ya balik lagi, itu semua dimiliki oleh Australia.
Peta Wisata Cocos Islands
Minimarket / Supermarket terbesar di Pulu Cocos
Salah-satu kegiatan Water Sport di Cocos
Disini juga terdapat bandara kecil tapi cukup untuk didarati oleh pesawat sebesar Boeing. Biasanya yang mendarat disini adalah pesawat dari Virgin Australia. Dan belum ada penerbangan langsung dari Indonesia kesini, harus ke Perth dulu baru kesini. Cukup mahal memang, dan rutenya sangat jauh memutar. Itupun jadwalnya hanya seminggu 3 kali pesawat datang kesini.
Kepulauan ini seperti surga yang tersembunyi ditengah Samudera Hindia. Andaikan kepulauan ini milik atau masuk dalam wilayah Indonesia, kita jadi tidak perlu mengurus paspor untuk menikmati keindahan alamnya.
Saya berharap kedepannya dari Indonesia ada Travel Blogger/Vlogger yang mengunjungi pulau ini, berbagi keindahannya alamnya, berinteraksi dengan orang-orangnya. Mereka pasti senang ketemu orang yang satu keturunan dengan mereka. Dan juga semoga kedepannya ada penerbangan langsung dari Indonesia ke Cocos Islands.